Pemilihan presiden akan diadakan beberapa
hari yang akan datang. Denyutnya pun sudah dapat kita rasakan bahkan sejak
beberapa bulan yang lalu.
Para calon presiden mulai melakukan pencitraan dan ramah-tamah sefektif mungkin, serta yang pasti mereka sudah menyiapkan ancang-ancang untuk menjerat rival politiknya. Masyarakat pun sudah mulai menentukan pilihannya, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kecil yang masih bingung serta menimbang-nimbang siapa kiranya yang patut diberikan kepercayaan untuk memimpin tanah air kita ini.
Para calon presiden mulai melakukan pencitraan dan ramah-tamah sefektif mungkin, serta yang pasti mereka sudah menyiapkan ancang-ancang untuk menjerat rival politiknya. Masyarakat pun sudah mulai menentukan pilihannya, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kecil yang masih bingung serta menimbang-nimbang siapa kiranya yang patut diberikan kepercayaan untuk memimpin tanah air kita ini.
Saya adalah pemilih pemula, baru saja
memperoleh Kartu Tanda Penduduk dan sekarang langsung mendapatkan hak untuk
memilih. Tentu saja saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut karena
saya tahu, satu suara kita sama artinya dengan satu harapan kita demi Indonesia
yang lebih baik lagi.
Pertarungan Pilpres yang sekarang bisa dikatakan
sebagai pertarungan sejarah lampau dan sejarah baru. Jokowi dan Prabowo,
dilihat sepintas memang memiliki tipikal yang berbeda soal gaya kepemimpinan.
Jokowi dengan blusukannya sehingga terkesan lebih merakyat dan menggambarkan
konteks kekinian, serta Prabowo dengan gaya militernya yang tegas sehingga
cenderung mencerminkan kekuatan yang ada pada masa lampau.
Sederhana saja, sebagai anak muda tentu saya
akan lebih memilih capres yang sudah terbukti memiliki kinerja yang optimal dan
tidak terkesan omdo (omong doang). Saya lihat, Jokowi adalah sosok pemimpin
yang ideal bagi Indonesia nantinya. Selain sederhana dan bersahaja, Jokowi juga
mau terjun langsung ke masyarakat untuk menampung aspirasi rakyat. Ya, dengan
hal ini saya kira Jokowi akan selalu up
to date mengenai permasalahan rakyatnya. Sebagai contoh saja saat menjadi
walikota Solo, Jokowi mengadakan berkali-kali pertemuan dengan para PKL dan
bernegosiasi sehingga mereka bersedia untuk dipindahkan. Waste of time? I’m sure not! This is a building trust! Jika banyak
orang yang menganggap itu sebuah pencitraan dikarenakan banyak media yang
meliputnya, itu sah-sah saja. Toh,
pendapat orang berbeda-beda. Tapi bagi saya terlepas dari pencitraan atau
tidak, Jokowi sudah mampu menunjukkan kinerjanya.
Saya masih mengingat tentang salah satu
program besar yang pernah diungkapkan oleh Jokowi yakni, revolusi mental.
Singkat cerita, sebagai pemilih pemula saya begitu tertarik dengan program
revolusi mental besutan Jokowi ini. Revolusi mental lebih ditekankan pada
sektor pendidikan. Sebagai calon guru, sudah seharusnya saya setuju 100%
terhadap program ini mengingat saat ini Sumber Daya Manusia di Indonesia tengah
mengalami kebobrokan mental. Sebagai bukti, lihat saja kondisi pendidikan
Indonesia yang benar-benar memprihatinkan beberapa tahun terakhir ini.
Pendidikan Indonesia menjadi tercoreng akibat maraknya kasus kekerasan serta
pelecehan seksual.
Mengapa revolusi mental? Beberapa pihak yang
pro terhadap capres lain tengah mengirimkan cibiran yang dialamatkan kepada
program revolusi mental itu. Ada yang mengatakan bahwa program ini adalah cikal
bakal yang pernah digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekedar
menegaskan bahwa ada hal yang belum mereka sadari, Indonesia tengah dilanda
demoralisasi alias kebobrokan mental. Untuk itu, kata-kata yang tepat untuk
memperbaikinya adalah revolusi mental. Jika kita mampu berpikir obyektif dan
tidak ada kebencian yang dilandasi oleh kepentingan politik, kita akan sepakat
bahwa kebobrokan mental serta moral di negeri ini sudah sedemikian parah.
Menurut Jokowi, revolusi mental akan efektif
bila diawali dari jenjang sekolah, terutama pendidikan dasar. Sepakat! Siswa
memang sudah seharusnya mendapat pendidikan berkarakter, pendidikan budi
pekerti serta pendidikan beretika. Bukan melulu tentang ilmu pengetahuan
seperti matematika dan sains. Tidakkah kita menyadari bahwa pendidikan
Indonesia masih terlalu sibuk mentransfer ilmu tanpa memperhatikan etika, serta
moralitas sebagai fondasi untuk hidupnya? Ya, hingga saat ini pendidikan
Indonesia memang masih mementingkan kuantitas daripada kualitas. Pendidikan
Indonesia juga masih menjadikan angka sebagai tolok ukur keberhasilannya. Apa
gunanya mendapatkan angka sempurna pada hasil belajar tapi tidak diimbangi
dengan moral yang bagus?
Saat ini, peningkatan Sumber Daya Manusia
merupakan kebutuhan yang mutlak mengingat persaingan serta perkembangan dunia
yang begitu pesat. Tanpa revolusi mental, tanpa adanya penanaman pendidikan
berkarakter sejak kecil, saya rasa akan sulit membangun sebuah SDM yang
berkompeten, berdaya saing, dan produktif. Program Revolusi Mental oleh Jokowi
ini terkesan lebih realistis. Selain dapat mengatasi degradasi moral,
kedepannya juga bagus untuk membangun generasi penerus bangsa yang intelektual
dan beretika. Sehingga akan tercipta generasi muda yang pandai, namun tidak melompong karena mereka juga dibekali
dengan pendidikan moral.
Jokowi berjuang dari bawah. Sikap serta
tindakan politiknya yang sederhana, dan tulus memperlihatkan bahwa ia begitu
berkomitmen untuk melayani rakyat. Salam dua jari.
Sumber: http://siperubahan.com/read/1011/Revolusi-Mental-untuk-Degradasi-Moral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar