Senja,
dengan sinarnya yang menguning, menyusup di sela-sela rimbunnya daun. Aku
dengan sejuta persepsiku duduk termenung memandanginya. Sesekali menghembuskan
nafas panjang. Aku rasa senja ini aku disibukkan dengan rasa takut yang aku
buat sendiri. Entah kenapa, pikiranku
kali ini tengah sibuk memikirkan rasa takut kehilanganku. Ya, semua berawal dari sedikit perubahan pada sikapnya dalam menanggapiku. Ia yang dulu aku banggakan karena rasa sabarnya, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sedikit temperamen. Mungkin untuk hal itu, aku masih bisa memakluminya. Mungkin saja hal itu disebabkan karena sifatku yang kekanak-kanakan, manja, atau apalah. Tapi, semuanya irasional. Rasa takutku ini berlebihan. Entah karena aku yang terlalu dini untuk mempersepsikan semua kejanggalan-kejanggalan ini. Dulu, dia begitu sabar dan begitu peduli terhadap apapun yang terjadi kepadaku. Sekarang, aku seperti ranting kering yang berjatuhan disekelilingnya, tidak berharga. Mungkin aku yang berlebihan, mungkin aku yang terlalu mudah membuat konklusi dari setiap peristiwa yang terjadi, atau mungkin memang dia yang berubah. Iya, dia berubah, aku mengetahuinya, tapi aku berakting seolah-olah aku menganggap dia tidak berubah. Berjuta kata mungkin memenuhi otakku. Mencoba mengubah mindset itu memang sulit. Saat ini, rasanya aku diselimuti oleh rasa takut. Ya, simpel. Aku begitu menyayanginya dan aku takut kehilangannya. Aku tidak tau apakah dia juga merasakan hal yang sama? Aku ragu. Aku takut dia tidak merasakan apa yang aku rasakan. Mengingat sikapnya yang berubah.
kali ini tengah sibuk memikirkan rasa takut kehilanganku. Ya, semua berawal dari sedikit perubahan pada sikapnya dalam menanggapiku. Ia yang dulu aku banggakan karena rasa sabarnya, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sedikit temperamen. Mungkin untuk hal itu, aku masih bisa memakluminya. Mungkin saja hal itu disebabkan karena sifatku yang kekanak-kanakan, manja, atau apalah. Tapi, semuanya irasional. Rasa takutku ini berlebihan. Entah karena aku yang terlalu dini untuk mempersepsikan semua kejanggalan-kejanggalan ini. Dulu, dia begitu sabar dan begitu peduli terhadap apapun yang terjadi kepadaku. Sekarang, aku seperti ranting kering yang berjatuhan disekelilingnya, tidak berharga. Mungkin aku yang berlebihan, mungkin aku yang terlalu mudah membuat konklusi dari setiap peristiwa yang terjadi, atau mungkin memang dia yang berubah. Iya, dia berubah, aku mengetahuinya, tapi aku berakting seolah-olah aku menganggap dia tidak berubah. Berjuta kata mungkin memenuhi otakku. Mencoba mengubah mindset itu memang sulit. Saat ini, rasanya aku diselimuti oleh rasa takut. Ya, simpel. Aku begitu menyayanginya dan aku takut kehilangannya. Aku tidak tau apakah dia juga merasakan hal yang sama? Aku ragu. Aku takut dia tidak merasakan apa yang aku rasakan. Mengingat sikapnya yang berubah.
Hal yang
saat ini aku takutkan hanyalah kehilangan dia. Implikasinya, jika aku takut
kehilangannya, maka aku menyayanginya. Tidakkah dia melihat bahwa aku sudah mau
sedikit demi sedikit merubah sifat kekanak-kanakanku? Aku berubah untuk siapa?
Untuk dia. Hanya demi dia. Agar dia tidak hilang. Semata hanya karena dia, dan
aku sangat menyayanginya. Aku harap, semua kata-kata kasarnya, sikap
temperamennya hanya sementara. Aku harap itu hanya siklus saat dia berada pada
titik terendah dari moodnya. Aku begitu takut kehilangannya. Aku tau sikapku
yang seperti ini jauh dari kata dewasa. Tapi apa dayaku? Apalagi yang bisa
kulakukan selain berusaha mempertahankannya? Hingga aku menulis ini pun, aku
tidak yakin dia akan mengerti. Jangankan mengerti, membaca pun tidak mungkin.
Biarkan, biarkan aku yang tau dan aku yang memohon kepadanya agar ia tidak
hilang. Aku akan senantiasa membisikkan permohonanku ketika dia tidur dan
terbenam dalam mimpinya. Walaupun aku tidak tau apakah aku yang membuat mimpinya
menjadi indah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar