Bunyi
gemerisik daun Jaboticaba yang
tertiup angin membuat suasana sore ini terasa sedikit lebih tenteram. Bukan
hanya itu, cahaya matahari senja yang menyusup dibalik rimbunnya daun-daun itu
seolah menghidupkan halaman rumahku. Ya, inilah pohon Jaboticaba milikku yang telah aku rawat hampir selama aku hidup.
Aku yang menanamnya, dan aku pula yang setiap sore menyiramnya, serta aku yang
memberi pupuknya. Dulu, ketika almarhum ayah masih ada, beliaulah yang setia
menemaniku menyiram pohon ini. Walaupun lelah setelah pulang kerja, tetapi beliau
selalu menyempatkan dirinya untuk menemaniku merawat pohon ini.
“ Ingat, pohon
ini yang menyediakan udara untuk kita bernapas. Selain berterimakasih kepada
Tuhan, berterimakasihlah kepada pohon ini,” itulah kira-kira perkataan ayah
yang sampai saat ini, sampai aku berkeluarga, aku masih mengingatnya.
Benar memang,
aku harus berterimakasih kepada pohon ini. Hingga saat ini, pohon inilah yang
membuatku semangat untuk hidup. Suamiku pun mengetahui itu. Karena pohon ini,
banyak anak-anak yang bermain di bawahnya. Bermain dengan buahnya, ataupun
hanya duduk-duduk saja di bangku yang memang sudah aku siapkan. Bapak penjual
bakso keliling biasanya mangkal disitu, karena tempatnya yang rindang, jadi
banyak yang mampir untuk membeli. Ibu-ibu tetanggaku juga suka berada di bawah
pohon itu, “Adem, mbak Sisil. Enak
kalau duduk disini. Sekalian nemenin mbak yang selalu ditinggal kerja sampe
sore sama masnya,” begitulah kata mereka. Lebih dari itu semua, pohon itu
adalah pemberi kehidupan. Ialah yang membuatku terus-menerus bersyukur dengan
keadaanku yang kuanggap malang ini.
Ketika aku
memulai hidup baru dengan mas Yoga suamiku, aku merasakan hal yang aneh dengan
tubuhku. Aku merasa sering mengalami konstipasi, diare, atau masalah perut
lainnya. Setelah aku memberanikan diri untuk periksa, ternyata benar aku
menderita penyakit celiac. Nama
penyakit itu masih terdengar asing di telingaku. Aku pikir itu hanya penyakit
pencernaan biasa, tetapi ternyata penyakit itu menimbulkan dampak yang begitu
besar. Wanita yang menderita penyakit ini biasanya memiliki masa reproduksi
lebih pendek dan menopause dini. Jadi penyakit ini adalah salah satu penyebab
kemandulan. Wanita mana yang tidak ingin memiliki keturunan? Hatiku begitu
hancur mendengarnya. Sempat aku meminta mas Yoga untuk meninggalkanku saja, toh
aku juga tidak bisa membahagiakannya. Tapi, dengan sabar mas Yoga menghadapi
sikapku. Secara perlahan ia memberikanku pengertian, persis dengan almarhum
ayah. Ya, aku sangat mencintainya melebihi apapun di dunia.
Sudah tahu kan,
kenapa aku sangat berterimakasih kepada pohon ini. Karena pohon inilah aku
dapat merasa hidup kembali. Aku bisa bermain dengan anak-anak, walaupun mereka
bukan anakku sendiri. Tapi entah kenapa, mereka terlihat begitu nyaman ketika
berada di bawah pohon Jaboticaba itu.
Namun hal itu
ternyata tidak berlangsung lama. Sepulang kerja
mas Yoga menghampiriku dan duduk disampingku, terlihat begitu gelisah.
“Kenapa mas?”
tanyaku.
“Ngg... Nggak.
Nggak apa-apa,” jawabnya singkat, terbata-bata, membuatku skeptis.
“Jangan
bohong. Feeling istri itu kuat,” kataku.
“Anu sayang...
Kata Pak Reza, dia mau menebang pohon Jaboticabamu.Soalnya
mengganggu kabel, sama daunnya bikin kotor jalan,” ucapnya lirih sambil
menunduk. Kontan wajahku rasanya seperti disiram dengan air panas, berasa panas
memang.
“Apa? Sial!
Itu pohon milik kita, ada di halaman kita. Buat apa mereka mau menebang pohon
yang sudah jelas kepemilikannya! Pokoknya aku nggak mau mas. Titik!” kataku.
Emosiku benar-benar meluap. Bayangkan saja, kalau pohon itu ditebang tidak akan ada lagi anak-anak
yang mau bermain di halamanku, tidak akan ada lagi ibu-ibu yang menemaniku
walaupun hanya untuk mengobrol, dan mungkin saja bapak penjual bakso itu jadi
sepi pelanggan karena tempat mangkalnya sekarang menjadi sangat panas. Tidakkah
mereka berpikir bahwa pohon Jaboticabaku
adalah sumber kehidupanku dan sumber kehidupann bagi orang lain? Tidakkah
mereka berpikir bahwa pohonku adalah yang termasuk penghasil oksigen untuk
mereka bernapas? Tidakkah mereka sadar bahwa pohon itu sangat berharga bagiku?
Mas Yoga
memelukku, air matanya mengalir membasahi pundakku. Aku tahu betul, mas Yoga
tidak pernah seperti ini bahkan saat ia mendengar tentang penyakitku pun, ia
tidak menangis. Ya, baru kali ini selama aku hidup dengannya. Sepertinya ia
mengerti setiap jengkal kenangan yang tertoreh pada pohon ini. Ia tahu seberapa
besar peran pohon ini dalam mengembalikan semangat hidupku.
Hari itu
datang, aku sudah tidak bisa mengelak. Jajaran atas di kampungku sudah sepakat
untuk menebang pohon itu. Entah berapa juta kenangan yang akan hilang seiring
patahnya ranting-ranting itu. Banyak orang yang menyayangkan penebangan pohon
itu, tetapi banyak pula yang setuju agar pohon itu ditebang. Alasannya klasik,
mengganggu kabel dan mengotori jalan. Sedikit tidak rasional memang, karena
setiap pagi dan sore aku selalu membersihkan daun-daun pohon Jaboticabaku yang berguguran. Tapi
apalah daya, kaum sepertiku yang tidak mempunyai peran penting di kampung,
tidak akan bisa menyuarakan pemberontakannya.
Gergaji besar sudah berada di halaman depan rumahku. Suara bisingnya
sangat mengganggu. Terdengar suara tawa dari bapak-bapak penebang pohon itu.
Membuatku geram, ingin mengusir, tapi aku tidak sanggup melihat proses
penebangan pohonku.
Sejak pohon itu
ditebang, hidupku terasa sangat jauh berbeda. Tidak ada lagi anak-anak kecil
yang bermain dan bergurau bersamaku. Tidak ada lagi ibu-ibu tetangga yang
mengajakku mengobrol. Tidak ada lagi bapak-bapak penjual bakso itu. Mungkin
baksonya sepi, karena tempatnya yang tidak strategis. Pokoknya, semua berbalik
180 derajat. Pohon yang kurawat sejak aku masih kecil, kini sudah menjadi
kenangan bersama kenangan-kenangan lain yang diciptakannya.