Senin, 26 Mei 2014

BERJUTA KENANGAN PADA JABOTICABA



Bunyi gemerisik daun Jaboticaba yang tertiup angin membuat suasana sore ini terasa sedikit lebih tenteram. Bukan hanya itu, cahaya matahari senja yang menyusup dibalik rimbunnya daun-daun itu seolah menghidupkan halaman rumahku. Ya, inilah pohon Jaboticaba milikku yang telah aku rawat hampir selama aku hidup. Aku yang menanamnya, dan aku pula yang setiap sore menyiramnya, serta aku yang memberi pupuknya. Dulu, ketika almarhum ayah masih ada, beliaulah yang setia menemaniku menyiram pohon ini. Walaupun lelah setelah pulang kerja, tetapi beliau selalu menyempatkan dirinya untuk menemaniku merawat pohon ini.
“ Ingat, pohon ini yang menyediakan udara untuk kita bernapas. Selain berterimakasih kepada Tuhan, berterimakasihlah kepada pohon ini,” itulah kira-kira perkataan ayah yang sampai saat ini, sampai aku berkeluarga, aku masih mengingatnya.
Benar memang, aku harus berterimakasih kepada pohon ini. Hingga saat ini, pohon inilah yang membuatku semangat untuk hidup. Suamiku pun mengetahui itu. Karena pohon ini, banyak anak-anak yang bermain di bawahnya. Bermain dengan buahnya, ataupun hanya duduk-duduk saja di bangku yang memang sudah aku siapkan. Bapak penjual bakso keliling biasanya mangkal disitu, karena tempatnya yang rindang, jadi banyak yang mampir untuk membeli. Ibu-ibu tetanggaku juga suka berada di bawah pohon itu, “Adem, mbak Sisil. Enak kalau duduk disini. Sekalian nemenin mbak yang selalu ditinggal kerja sampe sore sama masnya,” begitulah kata mereka. Lebih dari itu semua, pohon itu adalah pemberi kehidupan. Ialah yang membuatku terus-menerus bersyukur dengan keadaanku yang kuanggap malang ini.
Ketika aku memulai hidup baru dengan mas Yoga suamiku, aku merasakan hal yang aneh dengan tubuhku. Aku merasa sering mengalami konstipasi, diare, atau masalah perut lainnya. Setelah aku memberanikan diri untuk periksa, ternyata benar aku menderita penyakit celiac. Nama penyakit itu masih terdengar asing di telingaku. Aku pikir itu hanya penyakit pencernaan biasa, tetapi ternyata penyakit itu menimbulkan dampak yang begitu besar. Wanita yang menderita penyakit ini biasanya memiliki masa reproduksi lebih pendek dan menopause dini. Jadi penyakit ini adalah salah satu penyebab kemandulan. Wanita mana yang tidak ingin memiliki keturunan? Hatiku begitu hancur mendengarnya. Sempat aku meminta mas Yoga untuk meninggalkanku saja, toh aku juga tidak bisa membahagiakannya. Tapi, dengan sabar mas Yoga menghadapi sikapku. Secara perlahan ia memberikanku pengertian, persis dengan almarhum ayah. Ya, aku sangat mencintainya melebihi apapun di dunia.
Sudah tahu kan, kenapa aku sangat berterimakasih kepada pohon ini. Karena pohon inilah aku dapat merasa hidup kembali. Aku bisa bermain dengan anak-anak, walaupun mereka bukan anakku sendiri. Tapi entah kenapa, mereka terlihat begitu nyaman ketika berada di bawah pohon Jaboticaba itu.
Namun hal itu ternyata tidak berlangsung lama. Sepulang kerja  mas Yoga menghampiriku dan duduk disampingku, terlihat begitu gelisah.
“Kenapa mas?” tanyaku.
“Ngg... Nggak. Nggak apa-apa,” jawabnya singkat, terbata-bata, membuatku skeptis.
“Jangan bohong. Feeling istri itu kuat,” kataku.
“Anu sayang... Kata Pak Reza, dia mau menebang pohon Jaboticabamu.Soalnya mengganggu kabel, sama daunnya bikin kotor jalan,” ucapnya lirih sambil menunduk. Kontan wajahku rasanya seperti disiram dengan air panas, berasa panas memang.
“Apa? Sial! Itu pohon milik kita, ada di halaman kita. Buat apa mereka mau menebang pohon yang sudah jelas kepemilikannya! Pokoknya aku nggak mau mas. Titik!” kataku. Emosiku benar-benar meluap. Bayangkan saja, kalau pohon  itu ditebang tidak akan ada lagi anak-anak yang mau bermain di halamanku, tidak akan ada lagi ibu-ibu yang menemaniku walaupun hanya untuk mengobrol, dan mungkin saja bapak penjual bakso itu jadi sepi pelanggan karena tempat mangkalnya sekarang menjadi sangat panas. Tidakkah mereka berpikir bahwa pohon Jaboticabaku adalah sumber kehidupanku dan sumber kehidupann bagi orang lain? Tidakkah mereka berpikir bahwa pohonku adalah yang termasuk penghasil oksigen untuk mereka bernapas? Tidakkah mereka sadar bahwa pohon itu sangat berharga bagiku?
Mas Yoga memelukku, air matanya mengalir membasahi pundakku. Aku tahu betul, mas Yoga tidak pernah seperti ini bahkan saat ia mendengar tentang penyakitku pun, ia tidak menangis. Ya, baru kali ini selama aku hidup dengannya. Sepertinya ia mengerti setiap jengkal kenangan yang tertoreh pada pohon ini. Ia tahu seberapa besar peran pohon ini dalam mengembalikan semangat hidupku.
Hari itu datang, aku sudah tidak bisa mengelak. Jajaran atas di kampungku sudah sepakat untuk menebang pohon itu. Entah berapa juta kenangan yang akan hilang seiring patahnya ranting-ranting itu. Banyak orang yang menyayangkan penebangan pohon itu, tetapi banyak pula yang setuju agar pohon itu ditebang. Alasannya klasik, mengganggu kabel dan mengotori jalan. Sedikit tidak rasional memang, karena setiap pagi dan sore aku selalu membersihkan daun-daun pohon Jaboticabaku yang berguguran. Tapi apalah daya, kaum sepertiku yang tidak mempunyai peran penting di kampung, tidak akan bisa menyuarakan pemberontakannya.  Gergaji besar sudah berada di halaman depan rumahku. Suara bisingnya sangat mengganggu. Terdengar suara tawa dari bapak-bapak penebang pohon itu. Membuatku geram, ingin mengusir, tapi aku tidak sanggup melihat proses penebangan pohonku.
Sejak pohon itu ditebang, hidupku terasa sangat jauh berbeda. Tidak ada lagi anak-anak kecil yang bermain dan bergurau bersamaku. Tidak ada lagi ibu-ibu tetangga yang mengajakku mengobrol. Tidak ada lagi bapak-bapak penjual bakso itu. Mungkin baksonya sepi, karena tempatnya yang tidak strategis. Pokoknya, semua berbalik 180 derajat. Pohon yang kurawat sejak aku masih kecil, kini sudah menjadi kenangan bersama kenangan-kenangan lain yang diciptakannya.